Tari mengambil roti goreng beku dari kulkas, menggunting plastik dan mengeluarkan isinya. Perlahan dia memasukkan roti berbalut tepung roti itu ke minyak panas di wajan. Terdengar bunyi mendesis. Dia meraih penjepit dan membolak-balik roti yang mulai kecokelatan.
"Kamu melihat handukku?"
Tari terlonjak kaget. "Astaghfirullah!" Dia menoleh ke suaminya yang berdiri di dekat meja makan. "Handuk kamu?"
"Iya, handuk biru."
Tari mematikan kompor dan mengangkat roti serta meniriskannya. Dia mencuci tangan dan melapnya sebelum menghampiri sang suami. "Aku mencucinya kemarin. Sebentar kuambilkan yang baru."
"Kamu mencucinya?" tanya Bian heran. Sejak kapan tugas mencuci pindah ke istrinya? Tanyanya dalam hati. Ada Bu Darmi yang biasa mengerjakan.
"Iya," jawab Tari seraya berlalu ke service area di bagian belakang rumah, mengambil handuk bersih untuk suaminya.
"Bu Darmi ke mana?" tanya Bian. Dia duduk di meja makan sembari menunggu istrinya.
"Sakit." Tari sudah kembali dan menyerahkan handuk. "Sudah dua hari."
"Jadi kamu yang mengerjakan pekerjaan rumah?" tanya Bian seraya menerima handuk.
"Iya. Kenapa?"
Sudah satu bulan mereka menikah, Tari hafal apa yang biasa dilakukan Bu Darmi. Menyapu dan mengepel rumah, mencuci piring, mencuci pakaian, menjemur, menyetrika, memasak, membersihkan teras, dan menyiram tanaman. Bukan hal sulit. Dia sudah terbiasa melakukan pekerjaan rumah saat di rumah pakdenya.
"Lain kali panggil cleaning service saja," ucap Bian seraya beranjak ke tangga.
"Aku bisa kok," sahut Tari.
"Aku tidak mau berutang padamu," jawab Bian seraya naik ke lantai dua. Dia bahkan tidak menoleh saat mengucapkan kalimat itu.
Tari hanya menarik napas panjang. Dasar! Manusia datar, batinnya. Dia kembali ke dapur dan menyiapkan sarapan.
Tiga puluh menit kemudian suaminya turun, siap pergi bekerja. Tari meletakkan ponsel di meja. "Sarapan dulu," ajaknya seraya beranjak berdiri.
Bian berhenti sebentar dekat meja makan, dan melihat segelas jus jeruk dan roti goreng. Dari tampilannya, laki-laki itu menebak itu roti isi daging asap, keju, dan mayones. Kelihatannya lezat dan menggiurkan. "Aku sarapan di kantor." Dia melanjutkan langkah ke teras.
"Aku sudah menyiapkan sarapan untuk kamu bawa." Tari membawa tas kecil berisi kotak makanan dan mengikuti suaminya ke depan.
"Tidak perlu," sahut Bian seraya masuk ke mobil, merasa tidak perlu berpamitan kepada istrinya apalagi mengambil sarapan yang sudah disiapkan perempuan itu.
Tari memandang mobil suaminya yang sudah keluar dari garasi dan menarik napas masygul. Dia mengangkat tas di tangannya. "Sepertinya kamu kurang beruntung hari ini."
Perempuan itu menutup pagar dan masuk ke dalam. Satu hari lagi lewat tanpa suaminya menyentuh sedikit pun sarapan yang telah disiapkan.
Tari duduk di meja makan dengan lemas. Selalu seperti ini setiap pagi. Dia menyiapkan sarapan dan Bian selalu mengabaikannya. Rasanya sakit hati, capek, dan ingin marah. Tapi perempuan itu teringat kembali kesepakatan yang laki-laki itu buat. Tidak usah repot-repot menyiapkan makanan. Salahnya juga, kenapa kekeuh menyiapkan sarapan.
Ponselnya berdering. Tari melihat layar. Mama mertuanya.
"Halo, assalamu'alaikum, Ma," jawab Tari.
Wa'alaikumussalam. Halo Tari. Bian ada di rumah?"
"Udah berangkat ke kantor, Ma."
"Pantesan, Mama telepon nggak diangkat."
"Ada apa memangnya, Ma?"
"Nggak, pengen nelepon aja. Udah sebulan kalian nggak pernah main ke sini."
"Ooo. Iya, nanti Tari sampaikan, Ma."
"Ya udah deh. Kamu udah sarapan?"
"Iya, Ma. Ini lagi sarapan."
"Bikin apa?"
"Roti isi, Ma. Sama jus jeruk."
"Wah, enak tuh Bian dibikinin sarapan tiap hari sama kamu."
"Biasa aja, Ma." Kalau saja Mama tahu, batin Tari.
"Ya udah, jangan lupa bilang ke Bian, ya. Main ke rumah Mama."
"Iya, Ma."
"Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumussalam."
Tari memutuskan sambungan. Dia bersyukur, setidaknya punya mertua yang baik hati dan selalu menanyakan keadaannya. Mamanya Bian mengingatkan Tari pada orangtuanya yang telah meninggal.
Ayah dan bundanya bersahabat dengan orangtua Bian. Orangtuanya membantu orangtua Bian yang terpuruk karena bangkrut dan berutang miliaran rupiah. Dengan sabar orangtua Tari terus mendukung orangtua Bian untuk memulai kembali usaha mereka sampai sebesar sekarang.
Saat tahu sahabatnya meninggal, orangtua Bian langsung datang menemui Pakde dan Bude, bermaksud membawa Tari dan adiknya, lalu merawat keduanya. Pakde dan Bude menolak secara halus. Bagi mereka keduanya merupakan tanggung jawab keluarga.
Tari bersyukur mempunyai Pakde dan Bude sebagai pengganti orangtuanya. Kalau saja tidak ada keduanya, mungkin dia tidak akan menjadi seperti sekarang, tumbuh menjadi perempuan yang mandiri dan bahagia.
Menikah dengan Bian tidak pernah disesalinya. Tari yakin pilihan Pakde dan Bude baik untuknya. Dia yakin Bian akan berubah suatu hari nanti dan perempuan itu menantikan tibanya saat itu. Walau itu artinya harus bersaing dengan perempuan lain. Perempuan yang dicintai suaminya. Sarah.
****
Tari terbangun saat mendengar pintu depan dibuka. Dia bangkit duduk dari sofa dan menyipitkan mata, silau oleh lampu ruang televisi yang masih menyala. Dilihatnya jam dinding, pukul sebelas malam. Larut sekali suaminya baru pulang.
"Baru pulang," sapa Tari saat Bian melewatinya.
Langkah suaminya terhenti. "Kenapa belum tidur?" tanyanya.
"Aku menunggumu," jawab Tari seraya beranjak berdiri. Dia membetulkan letak kerudungnya yang berantakan. "Kamu sudah makan?"
"Berapa kali harus kubilang. Tidak usah menunggu, dan tidak perlu menyiapkan makan malam," sahut Bian seraya menunjuk meja makan. Laki-laki itu sudah makan, barusan dia bertemu dengan Sarah, janjian di tempat biasa, restoran sunda, kesukaan tunangannya itu.
Bian teringat pembicaraan mereka tadi. Laki-laki itu kembali meyakinkan Sarah agar menunggunya. Dia janji akan menikahi perempuan yang dicintainya itu, segera setelah berpisah dengan istrinya.
"Hanya satu tahun," bujuk Bian pada Sarah. "Tidak lama. Please .... "
"Kamu sudah menikah, Bian. A-aku tidak mau menjadi perusak rumah tangga orang," ucap Sarah pelan, takut terdengar pengunjung lain.
Kamu bukan perusak rumah tangga. Perempuan itu yang merusak rencana pernikahan kita," sahut Bian kesal. Kalau saja Tari tidak pernah datang dalam kehidupannya, tentu saat ini dia dan Sarah sudah menikah.
"Aku sudah melepaskanmu. Aku tidak ingin menjadi orang ketiga."
Bian meraih tangan Sarah di meja dan meremasnya pelan. Ditatapnya mata perempuan yang telah bersamanya selama dua tahun itu. "Apakah kamu masih mencintaiku?"
Sarah tidak menjawab. Dia menolak menatap laki-laki itu. "A-aku .... "
"Look at me, Sarah," panggil Bian lembut. "Look at me, please .... "
Sarah mengalah. Dia menatap Bian dan melihat kesungguhan di mata laki-laki itu.
"Aku tahu kamu masih mencintaiku, ya, kan?" ucap Bian penuh keyakinan. Tidak semudah itu Sarah melupakannya. Mereka sudah berhubungan lama, mereka saling mencintai. Bian berniat menikahi Sarah, kalau saja mamanya tidak menjodohkan dirinya dengan Tari.
Perempuan itu ragu, tapi hatinya tidak bisa dibohongi. Dia memang masih mencintai Bian, sepenuh hatinya. Sarah hancur saat laki-laki itu menikahi perempuan lain. Walau dia tahu itu karena terpaksa.
"Answer me ..., " pinta Bian lembut. "Please .... "
Sarah mengalah. Dia sudah lelah melawan perasaannya sendiri. Tidak pernah hatinya melupakan Bian. Sedetik pun. Perempuan itu mengangguk pelan. "Aku akan menunggumu," bisiknya.
Bian tersenyum senang. Dia akan berjuang untuk bisa lepas dari Tari agar dapat mewujudkan keinginannya menikahi Sarah.
"Tunggu aku. Hanya satu tahun. Tidak lama," janji Bian.
Sarah kembali mengangguk. Cinta membutakan, tidak tahu lagi mana yang benar dan salah. Asalkan tidak ada yang menghalangi jalan mereka untuk bersatu.
Lamunan Bian terhenti saat mendengar suara benda jatuh.
"Maaf," ucap Tari seraya mengambil ponselnya yang jatuh. Hatinya kembali terasa perih mendengar ucapan suaminya barusan.
"Aku mau tidur." Bian melangkahkan kaki menuju tangga. "Tidak perlu menyiapkan sarapan lagi besok."
Mata perempuan itu terasa hangat. Dia mengikuti punggung suaminya yang menghilang di balik pintu saat laki-laki itu masuk ke kamar.
Tari menarik napas panjang seraya menyeka pipinya yang basah. Bodoh! Sudah tahu Bian akan mengabaikan, tetap saja dia berlaku sebagai istri yang patuh. Meyiapkan segala keperluan suaminya, walau laki-laki itu tidak pernah peduli.
Sampai kapan dia akan bertahan?
****
Tari meletakkan piring berisi nasi goreng dengan telur mata sapi di atasnya, ditemani segelas teh tawar hangat.
"Kamu masuk ke kamarku?" tuduh Bian seraya menuruni anak tangga. Dia menatap istrinya dengan tidak suka. Berani sekali perempuan itu masuk ke kamarnya. Jelas-jelas Bian sudah melarang Tari masuk ke area pribadinya.
Tari tergagap. Dia memang masuk ke kamar suaminya, tapi hanya untuk mengambil pakaian kotor dan ... sedikit bersih-bersih. Dia tidak tahan melihat tempat tidur dan meja kerja yang berantakan, jadi mengambil inisiatif untuk membersihkan. "Ma-maaf. Bu Darmi tidak masuk lagi kemarin. A-aku hanya mengambil pakaian kotor dan .... "
"Sudah kubilang tidak usah mengurusi urusanku," suara Bian meninggi.
Tari berjengit. Tidak pernah ada laki-laki yang menaikkan suara padanya, bahkan Pakde.
Bian mendesah kesal saat melihat istrinya bergeming. "Kalau Bu Darmi masih belum masuk, telepon jasa cleaning service. Sudah kubilang, aku tidak mau berutang padamu," tegas Bian. Setelah mengatakan itu dia meninggalkan istrinya, menuju teras.
Tari tidak mengikuti suaminya kali ini. Dia hanya memandang Bian sampai menghilang. Tidak lama terdengar suara mobil dinyalakan. Perempuan itu melangkah ke depan, mobil suaminya sudah tidak ada saat dia sampai di teras.
Tari menutup pagar seperti biasa dan masuk ke rumah lalu mengunci pintu. Dengan langkah gontai ia menuju sofa dan mengempaskan tubuh di sana. Rasanya kesabarannya sudah habis.
Ponselnya berbunyi. Tari melihat layar. Ami.
"Halo ..., " sapanya tidak bersemangat.
"Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumussalam," jawab Tari.
"Lemes aja, Bu," canda Ami.
"Tahu, deh."
"Kenapa? Laki lo bikin ulah lagi?"
Sahabatnya itu memang tahu kondisi sebenarnya pernikahan Tari dan Bian. Perempuan itu menjadikan Ami sebagai tempat curhatnya.
"Ngapain lagi dia kali ini?" tanya Ami ikut kesal.
Tari mendesah. "Tahu deh. Kayaknya gue udah capek ngadepin dia."
"Lagian, udah gue bilang, lo aja masih ngeyel."
"Apa gue ikutin aja maunya dia?"
"Maksud lo? Pisah?"
"Bukan. Kesepakatan yang pernah dia buat."
"Kan gue udah bilang dari dulu. Kalau dia maunya begitu, ya udah."
"Tapi gue merasa jadi istri durhaka."
"Ya ampun, Tari. Justru dia suami durhaka. Apa pernah dia peduli sama lo?"
Tari menarik napas dan mengembuskan pelan. Suaminya tidak pernah peduli padanya.
"Udah, ikutin aja maunya gimana. Justru dengan begitu lo jadi istri yang patuh pada perintah suami. Bukannya dia nyuruh lo untuk ngurusin urusan lo sendiri, dan nggak ngurusin urusan dia? Ya udah."
Tari ragu. Apa iya seperti itu? Tapi dia juga lelah. Bian tidak pernah menghargai usahanya sebagai istri.
"Ya udah. Gue coba deh."
"Nah, gitu dong."
Tari kembali mendesah. Mudah-mudahan keputusan yang diambilnya benar. Kalau Bian mau istrinya tidak peduli, maka itu yang akan Tari lakukan. Besok dia akan memulainya.
*****
Post a Comment