Setiap perempuan memiliki pernikahan impian, dan apa pun akan dilakukan untuk mewujudkan momen sakral sekali seumur hidup itu. Begitu pula Btari Hapsari. Perempuan yang biasa dipanggil Tari itu mengimpikan pesta kebun bertabur lili pada pelaminan dan meja-meja bundar bertaplak putih yang dipenuhi teman dan kerabat. Hanya orang-orang terdekat. Pesta yang intim dan hangat. Senyum bahagia terpancar dari wajah kedua mempelai karena mereka telah dipersatukan dalam ikatan yang sah. Tapi impian tidak selalu sesuai dengan kenyataan. Dan Tari harus menerima walau hatinya belum rela.
"Saya terima nikah dan kawinnya Btari Hapsari binti Abiyasa Daud dengan maskawin tersebut, tunai."
"Bagaimana, saksi? Sah?"
"Sah!"
"Sah!'
"Alhamdulillah...."
Riuh seketika. Hamdalah memenuhi tiap sudut masjid.
"Ayo, Tari." Ayu, bude Tari, membantu keponakannya berdiri untuk duduk di depan bersama suaminya.
Akad nikah baru saja dilaksanakan di masjid. Pengantin pria duduk bersama wali, saksi, dan penghulu di bagian ikhwah. Sedangkan pengantin perempuan menunggu di bagian akhwat. Selesai akad, sang istri dibawa kepada si suami.
Tari menunduk saat Bude membantu berjalan ke depan. Dadanya berdebar kuat, bahkan sebelum akad nikah dimulai. Sekarang keringat dingin mulai membasahi tangan dan dahinya.
"Silakan ditandatangani," ucap penghulu saat Tari sudah duduk di samping suami. Mereka membubuhkan tanda tangan di beberapa surat-surat, termasuk buku nikah.
"Sekarang pemberian mahar," penghulu memberitahu.
Tari melirik Bian, laki-laki yang sudah sah menjadi suaminya itu. Bingung harus bagaimana. Tapi laki-laki itu bergeming. Tari mengalihkan pandang, menatap kotak hijau di atas meja. Maharnya. Kalung emas seberat sepuluh gram.
"Silakan pengantin berdiri," instruksi penghulu.
Pelan Tari berdiri, diikuti Bian. Untuk orang yang baru saja menikah, wajah laki-laki itu tidak menunjukkan kebahagiaan. Datar. Sedatar hatinya untuk sang istri.
Bian mengambil kotak hijau dan menyerahkannya kepada Tari. Perempuan itu menerima dan berusaha menghadirkan senyum di wajah saat beberapa fotografer mengambil gambar.
"Dibuka kotaknya, Mbak," sahut fotografer.
Tari mengikuti perintah, membuka dan memperlihatkan isi kotak kepada mereka.
"Masnya juga pegang." Kembali fotografer memberi instruksi.
Enggan Bian mengikuti permintaan.
"Senyum."
Bian menarik sedikit sudut bibirnya. Dia tidak bisa tersenyum saat hatinya tidak menginginkan semua ini. Sekilas ia melihat istrinya yang berbalut gamis putih gading dengan kerudung senada. Bagaimana perempuan itu bisa tersenyum seolah bahagia, padahal mereka menikah karena terpaksa? batin Bian.
"Cincinnya." Penghulu meminta pengantin tetap berdiri dan memasang cincin ke jari pasangan.
Bian mengambil kotak lain di meja dan mengeluarkan cincin dengan ukuran yang lebih kecil. Ia meraih tangan istrinya untuk memasangkan cincin itu di jari manis. Tari melakukan hal yang sama untuk suaminya. Sama sekali tidak ada getaran di antara mereka.
"Salam sama suaminya," ucap penghulu.
Tari mendongak menatap suaminya. Sambil menarik napas pelan, ia meraih tangan Bian dan membawanya ke dahi. Tidak ada kecupan di kening dari laki-laki itu untuk sang istri.
Perlihatkan cincinnya, Mas." Fotografer kembali memberi instruksi.
Bian dan Tari menurut. Laki-laki itu berharap semua ini segera berakhir.
"Senyum."
Bian ingin menghampiri si fotografer dan melempar kameranya. Seenaknya saja ia menyuruh tersenyum saat suasana hatinya buruk begini. Dia kembali melirik Tari untuk melihat reaksi istrinya. Perempuan itu masih tersenyum. Benar-benar aktris hebat, pikir Bian.
"Buku nikahnya."
Rahang laki-laki itu mengertak. Ini terakhir kali dia menuruti kemauan fotografer.
Akhirnya acara seremonial usai, sekarang Tari dan Bian berdiri berdampingan, menerima ucapan selamat dari para tamu dan keluarga yang hadir.
"Cantik banget, Tari," puji Ami tulus. Perempuan berhijab itu memeluk erat sahabatnya sejak kuliah itu.
"Makasih udah dateng," Tari balas memeluk. Dia butuh dukungan orang-orang terdekat. Ami selalu ada saat dibutuhkan. Terlebih saat ini.
"Sabar ya, Sayang," bisik Ami di telinga sahabatnya.
Air mata Tari nyaris tumpah, tapi ditahannya. Tidak di sini. Tidak di depan Pakde dan Bude.
*****
"Assalamu'alaikum," salam Tari saat masuk ke rumah.
"Wa'alaikumussalam," jawab Bian yang sudah masuk sebelumnya.
Tari mengedarkan pandang ke seluruh ruangan. Ketika masuk, ada ruang tamu dengan satu kursi dua dudukan, dua kursi satu dudukan, dan meja bulat kecil di tengah.
Perempuan berkerudung hijau itu melanjutkan langkah menuju ruang televisi. Ada sofa tiga dudukan di sana dan meja rendah persegi di antara sofa dan televisi.
Pandangannya beralih ke dapur mungil I-line dengan dominasi warna abu-abu terang. Ada meja makan kayu berwarna putih dengan empat kursi berdekatan dengan dapur. Cantik. Inikah yang akan menjadi rumahnya mulai saat ini? tanya Tari dalam hati.
"Barang-barang kamu sudah semua?" suara Bian mengagetkannya. Tari mengangguk. Dia hanya membawa dua koper. Barang-barang lain bisa menyusul, tinggal diambil di rumah Pakde.
Setelah pesta selesai, suaminya membawa Tari ke sini. Rumah mereka, well, rumah Bian lebih tepatnya. Laki-laki itu sudah tinggal di sini sebelumnya.
"Aku akan menunjukkan kamarmu," ucap Bian datar seraya membawa koper istrinya ke sebuah kamar. Tari mengikuti.
"Ada kamar mandi dalam," info Bian saat mereka sudah di sana.
Tari mengamati kamar barunya. Sebuah tempat tidur ukuran queen, lemari pakaian tiga pintu, dan meja rias.
"Kalau mau bersih-bersih ada handuk baru di lemari. Di kamar mandi sudah ada sabun dan sampo," jelas Bian. "Kalau sudah selesai, aku tunggu di meja makan, ada hal penting yang perlu kita bicarakan."
"Oke," ucap Tari seraya mengangguk pelan.
"Oke." Bian hendak keluar kamar, tapi Tari mencegahnya.
"Kamar kamu...?" tanya Tari.
"Di atas," jawab Bian. Setelahnya dia keluar dan menutup pintu.
Tari menarik napas panjang dan mengembuskannya keras. Mereka tidur terpisah. Tentu saja. Jelas-jelas laki-laki itu tidak menginginkannya.
Perempuan itu berusaha keras untuk tidak sakit hati. Dia sudah mempersiapkan kemungkinan terburuk. Suaminya boleh bersikap tidak peduli, tapi sebagai istri, Tari akan menjalankan tugasnya dengan baik.
Perempuan itu melangkah ke lemari dan mengambil handuk, dia perlu mandi dan salat sebelum menghadapi laki-laki itu dan hal penting yang ingin dibicarakannya.
****
"Apa ini?" tanya Tari seraya menatap lembaran kertas di meja.
"Kesepakatan pernikahan," jawab Bian datar.
"Kesepakatan pernikahan? Maksudnya?" tanya Tari tidak mengerti.
"Kesepakatan pernikahan selama kita menikah."
Alis Tari bertaut. "Aku masih belum mengerti."
Bian menarik napas panjang. "Kita menikah karena menuruti kemauan orangtua, bukan cinta. Kamu tidak berencana untuk menikah selamanya, kan?"
Tari tertegun. Tentu saja dia berencana menikah untuk selamanya. Dia memang menikah karena dijodohkan oleh Pakde dan Bude, tapi dia berniat menjalani sepenuh hati. Baginya menikah itu ibadah, bukan perkara main-main. Apalagi hanya untuk sementara.
"Maksud kamu, kita menikah hanya sementara, lalu pisah?"
Bian mengangguk. Tari hendak membuka mulut dan memprotes, tapi mengurungkannya.
"Kamu punya kamar sendiri, aku juga. Lantai atas adalah area pribadiku, kuharap kamu tidak naik ke sana," jelasnya.
Tari diam mendengarkan.
"Aku akan mengurus keperluanku, kamu mengurus keperluanmu. Anggap saja kita dua orang asing yang hidup di bawah satu atap." Dia berhenti dan menghela napas. "Kamu tidak perlu repot menyiapkan makan atau lainnya. Tidak perlu melakukan kewajiban seorang istri. Tidak juga harus meminta izin untuk melakukan sesuatu. Lakukan saja sesukamu."
Tari merasakan nyeri di hatinya. Ternyata ini lebih buruk dari dugaan. Dia tidak mengharapkan pernikahan impian, hanya mereka sama-sama mencoba membuat ini berhasil. Tapi laki-laki itu sepertinya menganggap pernikahan ini tidak pernah ada. Bahkan sudah berniat berpisah pada hari pertama.
"Kamu bisa baca dulu," Bian menyodorkan kertas kepada istrinya.
Tari mengambil dan membacanya. Selain yang sudah dikatakan suaminya tadi, disebutkan juga tentang hal lain. Bian tetap akan memberikan nafkah uang bulanan kepada istrinya. Perempuan itu tidak perlu repot membersihkan rumah dan hal lain karena sudah ada asisten rumah tangga yang mengerjakan.
Tari terus menelusuri setiap poin, sampai matanya melebar ketika membaca yang tertulis di sana. "Ini maksudnya apa?" tanyanya tidak terima.
Bian mengambil kertas dari tangan istrinya dan membaca yang dimaksud. "Sudah jelas, kan?" jawabnya datar.
"Jelaskan lagi," sahut Tari.
"Baik. Aku mungkin belum mengatakan ini kepadamu." Bian mulai bercerita. "Sejak awal aku memang berencana untuk berpisah setelah satu tahun. Mama mungkin belum cerita kalau aku sudah bertunangan dengan wanita lain, sebelum kamu."
Tari menahan napas. Dia tidak tahu suaminya punya tunangan sebelum ini. Dadanya berdebar menunggu kelanjutannya.
"Aku mencintai Sarah. Sangat mencintainya. Kami berencana menikah tapi Mama tidak setuju."
Sarah? Apakah itu nama tunangan suaminya? tanya Tari dalam hati.
"Aku terpaksa setuju menikah denganmu tapi tidak untuk waktu lama. Aku berjanji pada Sarah akan menikahinya setelah kita berpisah."
Tari merasa tertimpa beban yang sangat berat. Suaminya terang-terangan mengatakan mencintai perempuan lain, tunangannya dulu. Jadi pernikahan mereka hanya sementara dan mereka akan bercerai. Dia mengerjap, menahan air mata. Apalagi yang lebih sakit daripada ini? Suaminya tidak peduli dan terang-terangan mencintai perempuan lain. Tari akan menjadi janda dan laki-laki itu akan menikahi tunangannya setelah mereka berpisah.
****
Post a Comment