Ku Ingin Selamanya 2

Ini yang namanya banyak kerjaan?? Dengan duduk di dalam mobil dan mengikuti kemanapun dia pergi??
Sialan!!
Clara cemberut dan memalingkan wajah ke luar jendela mobil, tidak ingin melihat wajah Nik yang menyeringai geli.
"Ternyata kau tambah cantik kalau sedang marah, ya..."
Tubuh Clara tersentak saat degup jantungnya mengencang, ia melirik Pak Asep yang sedang menyetir,  terkikik geli meliriknya dari spion. Clara berdehem, menegakkan duduk dan merubah raut wajahnya menjadi datar.
"Kita mau kemana sih Pak?" Tidak tahan, akhirnya Clara bertanya.
"Ke Hotel S*ntika."
Clara melotot, "Ngapain??!" tidak sadar ia menjerit tertahan.
"Pesan kamar dong..." Nik terkekeh.
"Bapak jangan bercanda ya!"
"Panggil aku Nik."
"Apa??" Clara mengernyit bingung.
"Panggil aku Nik, Clara... " Nik mengulang dengan perlahan. "Aku tidak suka kita terlalu formal."
Apa maksudnya itu, malah tidak enak rasanya jika tidak Formal. Clara berdecak, "Serius deh Pak... Kita mau ke mana sih?"
"Panggil aku Nik, baru aku akan jawab pertanyaan mu."
Clara mengeram kesal, "Kita mau kemana Nik?!"
Oke, walaupun ia akui nama itu terasa enak saat terucap di lidahnya. Dan senyum Nik yang mengembang nyatanya malah membuat darahnya berdesir seketika.
"Aku tidak tau jika namaku akan terdengar sangat indah dari mulutmu."
Ya ampun...
Clara mengeram lagi, dan lebih memilih tidak meladeni percakapan tidak penting ini.
Serius! Dia lebih baik berada di kantor menunggu pembayaran dari tenant yang menunggak—yang tidak tau kapan akan membayar—daripada berada di situasi tidak jelas seperti ini.
"Kita akan bertemu Pak Simon."
Clara mengerutkan dahi. Ia tentu saja tau Pak Simon. Pria itu adalah Bos Besarnya, malah selama ini yang ia tau, pemilik Mall tempatnya bekerja adalah Pak Simon Abraham. Nama Jason Abraham mencuat baru-baru ini saja saat anaknya, yang sedang duduk di sampingnya ini, mulai datang untuk bergabung. "Pak Simon ada di sini?"
Clara bingung, karena setahunya, Pak Simon tidak tinggal di kota ini. Tapi mengapa orang kantor tidak tau jika Pak Simon datang?? Ini bukan alasan pria itu saja untuk membawanya keluar kan???
Mata Clara memicing curiga.
"Beliau kemari tidak ada hubungannya dengan Mall, makanya tidak ada orang kantor yang tau. Ia akan membuka cabang baru Restonya. Jangan curiga begitu." Nik menggelengkan kepala.
"Oh." Clara merasa sedikit malu karena sudah berprasangka buruk. "Jadi, untuk apa pertemuan ini, Pak... Eum... Nik." Clara langsung memutar bola mata dan mengoreksi panggilannya saat melihat pelototan pria di hadapannya.
"Aku berencana akan merayunya supaya mau menjual saham Mall yang ia miliki padaku."
Lagi-lagi ia mengernyit bingung, "Bukankah seharusnya saya tidak ikut. Itu akan bersifat pribadi pastinya kan...?"
"Justru di sanalah tugasmu, Clara."
Ia mengerutkan dahi menatap Nik, sama sekali tidak mengerti.
"Pembicaraan pasti akan sangat alot dan membosankan. Aku membutuhkan tenaga yang cukup ampuh dan alasan untuk bertahan di sana."
Clara masih tidak mengerti di mana letak tugasnya. "Lalu saya ngapain?" tidak sadar, bahasa formalnya kian hilang.
Nik terdiam saat membalas tatapan Clara, "Diam saja." Senyum kecil tersungging di sudut bibirnya, "Kau hanya harus berada dimana mataku bisa melihatmu."
Apa?
Clara ingin membalas kalimat Nik. Tapi tidak ada satupun kata yang keluar dari mulutnya, ia bahkan tidak tau harus membalas apa.
"Kita sudah sampai, Pak." Interupsi Pak Asep sama sekali tidak mengalihkan tatapan Nik. Tapi Clara tersadar dan langsung berpaling, hawa panas menjalar seketika di wajahnya.
Bunyi pintu yang tertutup membuat Clara bernafas dengan lega, ia tidak sadar telah menahan nafasnya sedari tadi. "Apa-apaan itu tadi..." Clara menggerutu kesal.
"Pak Bos nembak Mbak Clara tadi itu..." Pak Asep tiba-tiba menolehkan kepalanya ke belakang menatapnya dengan geli.
Clara berdecak. "Bos Bapak itu lho keliatan banget playboy nya. Nggak bisa liat cewek nganggur langsung maen rayu aja."
"Ah malah keliatan serius lho tadi itu mbak..."
Masa sih? Nggak mungkin, kan? Mereka baru saja bertemu, Demi Tuhan!
"Udah deh Pak!"
Pintu di samping nya tiba-tiba terbuka, membuat ia berjengkit kaget dan langsung menoleh, mendapati Nik yang menatapnya dengan dahi berkerut. "Kenapa tidak turun?"
Loh, buat apa ikutan coba? 
"Saya tunggu di sini saja, Pak, eh Nik. Sama Pak Asep."

"Apa kau tidak mengerti dengan apa yang aku katakan tadi?" Nik terdiam sesaat menyorotinya dengan lekat. "Aku ingin kau berada di mana mataku bisa melihatmu. Dan sudah pasti itu bukan berada di dalam mobil saat aku sedang di dalam. Ayo..."
Clara menelan ludah, degupan jantung nya kembali berulah dan kian mengencang saat jemarinya tiba-tiba di genggam, lalu ditarik perlahan hingga tubuhnya perlahan keluar dari mobil.
Itu adalah sentuhan pertama mereka. Bahkan pada saat berkenalan, mereka tidak berjabatan tangan. Rasanya seperti tersengat getaran listrik kecil yang membuat nafas Clara tertahan di tenggorokan. Lalu wajahnya terasa panas kembali, kehangatan dari sentuhan itu seakan mengalir hingga ke sudut hatinya, dan rasanya sangat menggelisahkan.
— — —
"Siang Bu Clara..."
"Siang Pak Bambang." Clara mengangguk sambil tersenyum membalas sapaan Kepala Satpam yang kebetulan sedang berdiri bersama beberapa orang anggota nya di depan kantor mereka, tepat di sebelah kanan kantor Manajemen.
"Siang Mbak Clara."
Lagi-lagi Clara mengangguk dan tersenyum, "Siang Bang Ahmed."
Letak tempat parkir yang berada di depan kantor satpam membuat ia harus melewati tempat itu jika akan menuju Kantor manajemen. Jalan lain tentu saja ada, tapi harus memutar arah dan tentu saja melewati lapangan parkir motor yang luas dan juga panas. Jadi, jalan ini satu-satunya yang terbaik walaupun ia agak risih karena harus beramah tamah dengan anggota satpam yang kebetulan ada.
Sebenarnya ia tidak keberatan, lagi pula hal ini jarang terjadi. Seringnya ia hanya di sapa oleh satu orang saja yang sedang berjaga, tapi sepertinya siang ini para satpam sedang berganti shift, jadi suasana agak ramai.
"Siang Mbak..."
"Siang juga Mas Ojik."
Nik mengerutkan dahi melihat pemandangan didepannya. Baru saja ia merasa senang karena Paman Simon akhirnya setuju untuk menjual saham Mall padanya, hingga Mall ini akhirnya hanya akan menjadi miliknya dan Papa.
Tapi sejak keluar dari Mobil, kebahagiaannya terusik karena keramahtamahan yang sedari tadi tersaji di depan matanya.
"Apa mereka selalu menyapa Clara seperti itu?" Nik bertanya pada Pak Asep yang berjalan selangkah di belakangnya.
"Iya, Pak."
Nik mengerutkan dahi tidak senang.  Para satpam itu terlalu ramah, padanya saja mereka hanya menganggukkan kepala. "Apa diantara mereka ada pacarnya?"
Pertanyaan itu sedikit—tidak, tapi sangat banyak— mengusik ketenangannya. Ia bahkan tidak terpikirkan pada hal itu sejak pertama kali melihat Clara. 
Ia tidak berpikir bahwa bisa saja, Clara sudah memiliki seorang kekasih.

Ia termasuk orang yang susah menyukai seorang wanita, terlebih lagi jatuh cinta. Ia bahkan sempat menganggap dua kata itu hanyalah omong kosong belaka.
Tapi saat ia berdiri di sebuah ruangan saat pertama kali datang kemari dan mendapati mata itu sedang menatapnya. Ia merasa terperangkap.
Ia bahkan tidak bisa mengalihkan tatapannya sedikit pun. Seakan ia telah menemukan pusat dunia yang selama ini ia cari.
Seolah ia telah menemukan kepingan dirinya yang belum sempurna selama ini...
"Siapa Pak? Mbak Clara, ya? Setau saya sih Mbak Clara belum punya pacar."
Oh ya... Good!
"Tapi memang banyak yang suka padanya Pak. Mbak Clara ramah sama semua orang. Jadi, banyak yang naksir."
Nik lagi-lagi mengerutkan dahi dengan kesal, "Itu artinya saya harus cepat-cepat dong."
"Gimana Pak?"
Nik berhenti dan berbalik memandang Pak Asep. "Saya harus cepat-cepat sebelum Clara diambil orang. Begitu kan Pak?"
Pak Asep tersenyum lebar sambil mengangguk-anggukkan kepalanya.
— — —
"Rapat apa lagi sih? Perasaan kita rapat Mulu deh?" Clara menggerutu kesal. Masalahnya dia baru saja sampai ke kantor dari menemani sang Bos sejak pagi tadi. Walaupun ini bukan tanggal sibuknya, tetap saja ada pekerjaan yang harus dia kerjakan.
Dan sekarang si Nik Nik itu sudah meminta seluruh orang untuk berkumpul di ruang Rapat. Kali ini mengajak Pak Bambang, Kepala Satpam untuk ikut hadir.
"Sapa tau Pak Bos punya rencana baru lagi, bagus dong buat perubahan dan kemajuan kita."
Mau tidak mau Clara setuju dengan pendapat Vera, hasil dari rapat kemarin saja sudah terlihat. Pihak B*I menyetujui kerja sama mereka, dan tanpa buang waktu, Ruko depan sekarang sedang dalam masa renovasi oleh pihak Bank.
Clara duduk dengan tenang saat semua sudah berkumpul, entah apa lagi kali ini.
"Mbak Eka, masa sewa Salon Crish berakhir kapan?" Nik segera memulai tanpa basa basi.
"Akhir tahun ini Pak."
"Hm.. artinya dua bulan lagi ya. Mereka perpanjang?"
"Belum ada kabar Pak, biasanya satu bulan sebelum kontrak berakhir baru kita ajukan perpanjangan."
"Oke. Ajukan mereka untuk pindah ke kios di dalam Mall."
Aku mulai mengerutkan dahi, Salon Crish berada di samping Kantor Manajemen sebelah kiri. Dekat dengan pintu samping Mall. Mengapa mereka harus pindah?
"Itu akan lebih menguntungkan mereka. Karena pengunjung yang masuk ke dalam Mall pasti lebih banyak melewati salon mereka nantinya, itu akan membuka peluang bagi mereka dari pada dari luar Mall."
Tapi mereka pilih Ruko karena butuh ruangan yang luas Pak,"
"Tawarkan mereka dua kios atau tiga kios sekaligus. Sewanya bahkan lebih murah kios dari pada ruko, kan?"
Mbak Eka mengangguk dan mencatat di buku nya. "Jadi Ruko di samping untuk apa Pak?"
"Kantor Satpam."
Semua orang menatap Nik heran.
"Jadi, Kantor kami pindah begitu ya Pak?" Pak Bambang membuka suara.
"Kantor Satpam yang sekarang akan di bobok dan menyatu dengan kantor Manajemen. Jadi saya pindahkan Kantor Satpam ke sebelah kiri. Tidak masalah kan? Cuma pindah ke samping saja."
Pak Bambang mengangguk walaupun dengan wajah kebingungan, begitu juga semua yang ada di ruangan.
"Memang apa bedanya, Pak?" Tidak tahan, Clara bertanya. "Kenapa harus pindah jika cuma sekedar ke samping sebelah kiri begitu? Kenapa tidak di bobok yang sebelah kiri saja untuk disatukan dengan kantor kita. Sama saja kan? Dan Saya rasa itu jauh lebih efisien."
Nik mengerutkan dahi pada Clara. "Saya tidak suka jika tiap kali datang ke kantor, kamu harus melewati kantor satpam terlebih dahulu."
Loh, kok dia yang kena. Clara ikut mengerutkan dahi, "Maksudnya... gimana ya Pak?"
"Biar kamu nggak usah ramah tamah lagi sama anggota."
Hah? Seriusly??!
Suara cekikikan Vera membuat Clara mengeram kesal, wajahnya jangan ditanya sudah semerah apa. Rasanya malu saat Nik menggodanya terang-terangan begitu. Mau nya apa sih???!  "Pak, serius!! Jangan seenaknya gitu dong!"
"Loh, seenaknya itu sifat Bos." Nik tersenyum geli, "Dan kebetulan, saya Bos nya di sini. Suka-suka saya dong."
Eh sialan! Dia tidak mungkin jadi alasan pemborosan, kan?? Keuangan Mall baru saja stabil. Apa yang akan dipikirkan Ibu Jul tentang dia kalau begini.
"Pak! Hal itu benar-benar pemborosan. Bakal habiskan dana yang banyak nantinya, kondisi keuangan kita baru aja stabil." Clara mengeram, kesal dan malu, dan marah. Semua terasa bercampur aduk.
"Saham Pak Simon sudah terjual, nanti akan ada suntikan dana masuk. Uangnya bisa di pakai untuk biaya renovasi."
Dengungan orang-orang yang bertanya siapa pembeli saham membuat suasana menjadi ramai, tapi tidak memutus tatapan Clara pada Nik yang juga sedang menatapnya. Pria itu menaikkan sebelah alisnya, menantangnya untuk kembali protes. Tapi ia tidak tau bagaimana cara menjelaskan bahwa urusan pekerjaan tidak boleh dicampurkan dengan masalah pribadi seperti itu.
"Ada lagi sanggahan?"
Tidak ada lagi yang bersuara. Clara mengatupkan gigi karena masih merasa tidak enak karena dijadikan alasan perpindahan kantor itu, memangnya ada yang salah jika dia beramah-tamah dengan para satpam. Lagi pula, apa urusannya dengan Nik.
"Adalagi yang ingin dikatakan?" Nik mengedarkan pandangan dan berhenti pada Clara, menyipitkan mata pada wanita itu, "Clara? Masih ada yang ingin dikatakan?"
"Seharusnya anda tidak mencampurkan urusan pribadi dengan pekerjaan, Pak." Clara termasuk orang yang tidak tahan jika harus menyimpan uneg-uneg nya. Jadi, jika diberi kesempatan. Tentu saja ia akan mengutarakan hal itu. Tidak peduli pada situasi apapun.
Nik terdiam menatapnya lekat sebelum membuka suara, "Kau tau, aku adalah orang yang memiliki prinsip seperti ini: Jika kau ingin bekerja dengan maksimal, maka buatlah lingkungan kerjamu menjadi senyaman mungkin." Nik menaikkan sebelah alisnya sambil menyeringai, "Dan aku sedang melakukan itu sekarang. Jika itu menyangkut kenyamanan, maka aku tidak peduli sekalipun itu menyangkut hal pribadi."
"Tapi aku tidak masalah dengan beramah-tamah. Itu hal yang wajar, nyaman-nyaman saja kok." Clara tetap bersikukuh.
Dahi Nik lagi-lagi berkerut tidak terima, ia menatap tajam Clara, bersidekap dan menyandarkan tubuh ke sandaran kursi. "Tapi itu masalah untukku. Aku-tidak-suka."
"Nik!!" Beberapa detik setelah nama itu terucap dari lidahnya, Clara membelalakkan mata karena terkejut sendiri.
Demi Tuhan! Bukan hanya ada mereka berdua di sini!!!
Seringai lebar di bibir itu membuat Clara serasa ingin menangis dan menenggelamkan diri ke dasar lantai. Oh...please...
— — —
Lagi berusaha bangun chemistry antara mereka supaya cerita nya bisa cepet sampe ke konflik.

Tapi nggak tau dapet apa nggak chemistry nya. Hahahahaa...
Ian bakal muncul saat-saat konflik, 
Ian itu sama seperti Ale. Jangan lupa, dia anak asuh Ale, lho...
Dan SAMA disini dalam artian sebagai penyelamat, dan yang paling sedih kehidupan cinta nya. 
Selamat menunggu buka puasa... 

You may like these posts