Fight (18+)

Ini sudah tepat tiga minggu setelah aku dan Radit menghabiskan waktu (yang katanya sih bulan madu) di Jogja. Jika kamu ingin tahu apa yang terjadi pada kami selama smeinggu ini, jawabanku adalah tidak ada apa-apa. Aku dan dia sama-sama sibuk dengan pekerjaan kami dan pulang sudah terlarut larut.
Percakapan hangat dan sentuhan-sentuhan lembut seperti biasanya entah hilang menguap ke mana. Aku tak tahu harus merasa sedih seperti apa, sebab saat inipun otakku dipenuhi oleh banyak hal lain, bukan tentang Radit.

Jadi, ketika aku tiba pada saat benar-benar merindukan dia, tugas dan pekerjaan akan mampu mengambil alih pikiranku. Dan akhirnya, aku tak pernah mengutarakannya.
Apa yang kami bicarakan setiap pagi juga bukan percakapan santai yang membahagiakan, Radit dan aku lebih sering terburu-buru ketika sarapan. Entah aku atau dia yang berangkat lebih dulu, kami hanya berpelukan sebentar kemudian Radit akan mencium keningku. Selalu hanya seperti itu setiap pagi.

Dan bahkan tidak ada endusan menggelikan di atas ranjang, bagaimana bisa melakukan hal lain jika hal-hal kecil saja tidak Radit lakukan?
Pada akhir minggu pertama, ketika aku mulai mencium gelagat tak sehat pada hubungan kami, aku berusaha beberapa kali mengajaknya pergi berdua, entah nonton di bioskop atau makan malam di manapun.

Tetapi jawaban Radit pada percobaan ke empatku, tepat dua hari lalu, membuat aku berhenti, dia bilang dia sibuk dan sedang tak ada waktu untuk bersantai. Dia pikir nonton film atau makan malam denganku benar-benar mengganggu waktunya? Aku sungguh sebal pada Radit, dan sejak malam itu aku tak lagi bercakap-cakap dengan dia.
Kejadian dua hari lalu itu membuat sepanjang malamku lebih banyak dihabiskan di rumah sakit, seperti malam ini. Aku sedang berada di ruang UGD dengan beberapa perawat, tapi entah pikiranku sedang jauh ke mana-mana.

"Sya, kok ngelamun? Kenapa?" pertanyaan Rival dan tepukan tangannya pada bahuku memaksaku berhenti berjalan dalam pikiran ini.
Aku menggeleng.

"Siapa yang ngelamun? Enggak kok," balasku sambil memaksakan senyum.
"Kalo jawabannya enggak, berarti kamu emang lagi ngelamun beneran. Yuk minum kopi dulu di kantin," kata Rival.

"Zee, saya sama Dokter Rasya ke belakang bentar ya," katanya lagi dibalas dengan anggukan dan senyum tipis Zee.

Sejak dulu, Rival memang sangat ahli mencium hal-hal yang berbeda dariku, dia seperti sudah hafal apa yang biasanya kulakukan dan tidak kulakukan.

Dia sering terlebih dahulu tahu sebelum aku menceritakan padanya. Dan percaya atau tidak, dahulu, setiap aku sedih, aku benar-benar bisa semalaman bercerita padanya, bahkan sampai menangis!
Semoga malam ini air mataku bisa diajak bekerja sama.
"Tell me, what happen?" tanya Rival sambil menyerahkan segelas kopi untukku dan menyeruput miliknya.

Aku menggeleng. Aku tidak bisa menceritakan ini pada dia.
"Oke nggak papa kalo nggak mau cerita, tapi kamu harus coba ini Sya. Enak serius," Rival menyunggingkan senyumnya.

Air mataku mengalir sendiri tanpa kuperintah sesudah itu.
"Hey Sya, kok udah nangis aja sih, padahal belum bilang apa-apa," Rival menggeser duduknya mendekat ke arahku kemudian mengusap punggungku pelan.

"Maafin aku jadi nggak fokus seharian ini," kataku pelan di sela isak tangis.
"Iya Rasya, but why? Kamu kenapa?" tanyanya masih tetap mengelus punggungku, sesuatu yang telah dengan pasti akan dilakukan Rival ketika aku menangis.
Sejak dulu, bahkan sampai sekarang.

"Aku nggak bisa cerita Val," jawabku pelan dibalas Rival dengan anggukan.
"It's ok, tapi tetep harus jaga kesehatan ya. Kamu tahukan bahaya sering nangis dan sering stress? Bahaya buat kesehatanmu," ucapnya lagi sambil menarik tangannya.
Aku mengangguk pelan.

"Cengeng nggak ilang-ilang sejak dulu dasar!" kata Rival sambil memukul pelan kepalaku. Aku mengerucutkan bibir.
"Gimana coba kalo besok jadi ibu? Apa iya mau dikit-dikit nangis juga?" tanyanya dibumbui dengan nada mengejek.

"Nangis bareng nanti sama anaknya!" tukasku sambil meraih gelas kopiku.
"Thank you ya Val, kamu emang selalu handal deh soal ginian. Empat jempol!" ujarku diikuti dengan kekehan.
"Oh cuma makasih doang? Waktu setengah jam lebihku udah kuhabisin liat mewekmu lho Sya," Rival memasang mimik serius (tapi bercanda) nya.
"Terus apa?"
"Peluk kek, apa kek," kata Rival sambil tertawa.
Aku tahu dia sedang bercanda, tapi otakku memerintahkan pada otot yang berada di tanganku untuk meraih tubuh Rival. Tanganku melingkar pada lehernya, sedangkan dia hanya diam.
"Aku cuma bercanda," kata Rival dengan suara serak dan pelan.
"Makasih ya Val, aku balik UGD dulu. Kamu hati-hati pulangnya," aku tersenyum tipis sebelum akhirnya beranjak

Masih dengan wajah syoknya, dia balas tersenyum dan mengangguk. Aku kemudian berjalan cepat menuju ruang UGD.

Kalian boleh membenci aku setelah ini atas apa yang kulakukan, aku sendiripun membenci diriku, mengapa bisa aku memeluk Rival seperti itu?
Zee menatapku heran ketika aku tiba.
"Lho Dok, tadi ada suami dokter, Pak Radit datang ke sini, lalu saya bilang Dokter ada di kantin rumah sakit. Apa nggak ketemu, Dok?" tanya Zee yang membuat aku bagai disambar petir.
"Hah, yang bener Zee? Ada apa kok ke sini?" balasku sambil duduk di depan Zee.
"Nggak bilang Dok ada apa, tadi cuma bilang mau ketemu dokter langsung. Apa tadi nggak ketemu di kantin?" tanyanya lagi.
Aku menggeleng pelan. Matilah aku, apa tadi Radit melihat aku sedang memeluk Rival? Yaampun, belum selesai satu masalah, sudah muncul lagi yang ini! Memang bodoh Rasya!
Nada sambungku untuk yang yang ke delapan kali tak juga dibalas oleh Radit, dia sengaja tak mengangkat panggilanku.
Aku buru-buru mengemasi barangku dan berpamitan pada Zee dan beberapa perawat lain.
***

Dalam perjalanan pulang, aku mendapati mobil Radit terparkir di pinggir jalan dengan beberapa teknisi di depannya. Radit berdiri di depan mobilnya sambil mengusap muka.
Tak pikir panjang, aku segera memarkirkan mobilku di belakang mobil Radit dan bergegas turun.
"Dit, kenapa mobilmu?"
Nggak papa, kamu pulang duluan aja," jawabnya tanpa menoleh ke arahku.
"Bareng aku aja pulangnya," ucapku. "Lagipula itu lampu..." belum sempat aku selesai bicara, Radit menoleh menatapku tajam.
"Bisa denger nggak? Kamu pulang duluan aja," Radit menaikkan nada suaranya, membuat mulutku terbuka karena terkejut.
"Kalo aku duluan, kamu pulang naik apa? Aku tunggu di mobil ya," kataku setelah akhirnya berhasil mengumpulkan seluruh sisa keberanian yang kumiliki.
Aku berjalan pelan kembali menuju mobil, tetapi kemudian Radit meraih lengan kananku.
Dia memegangnya erat kemudian menarikku masuk ke dalam mobil, membanting dengan keras pintunya, kemudian setengah berlari masuk di balik kemudi mobil Jazzku ini.
"Kenapa sih Radit? Kamu ini kenapa?!" teriakku kencang saat Radit sudah ada di sampingku.
Nafasnya memburu menahan amarah, sedangkan matanya menatapku tajam.
"Kamu masih tanya kenapa Sya? Kamu masih tanya?!" tanya Radit tak kalah kencangnya dengan aku.
"Kamu yang sesibuk itu, masih sempat berduaan sama laki-laki lain! Kamu yang sesibuk itu, bahkan masih sempat pelukan sama laki-laki lain! Apa itu Sya? Apa yang kulihat tadi? Argh!" ucap Radit sambil menarik rambutnya, dilanjutkan dengan memukul stir.
Dia kemudian membenarkan posisi duduknya menghadap ke arahku.
"Itu nggak kayak yang kamu pikirin Dit!"
"Terus apa? Apa maksudmu pelukan sama dia?"
"Aku nggak ada maksud apa-apa. Kalaupun aku jelasin semuanya sekarang, kamu nggak akan percaya, aku..."

Radit menarik tubuhku dan menempelkan bibirnya pada bibirku. Mataku terasa panas. Bibir Radit yang biasanya terasa memabukkan, kali ini justru membuatku ketakutan.
Benar saja, Radit mulai memainkan lidahnya ke dalam mulutku. Dia membuatku harus meremas dasinya karena sesak menahan nafas. Radit mengambil seluruh ruang di mulutku dan menuntut balasan.
Kami masih dalam posisi yang sama ketika aku menyadari air mata Radit menetes dan mengenai ujung hidungku.
Yaampun, dia menangis dalam amarahnya. Baru kali ini aku melihat Radit menangis.
Menit sesudah itu, Radit menarik mulut dan tubuhnya menjauh, menyalakan mobil, kemudian memacu mobil dalam kecepatan yang tinggi.
"Radit, please! Don't do this!" teriakku kencang saat Radit benar-benar tak mengendalikan kecepatan Jazz ini.
"Kamu yang bikin aku kayak gini, kamu yang bikin aku kacau!" balasnya tak kalah kencang dengan deru mobil.

"Kamu itu istriku Sya, kamu milikku! Apa salahku sampai kamu tega ngelakuin itu? Sebutin selahku Sya, sebutin!" teriaknya lagi sambil membanting stir ke kiri kemudian membuat mobil berhenti.
"Apa salahku Rasya?" tanya Radit pelan ketika mobil sudah benar-benar berhenti.
Aku menggeleng pelan.
"Maafin aku!" aku terisak pelan sambil menggigit bibir.
Seribu maaf sekalipun sepertinya tidak akan mengubah apa yang Radit pikirkan tentang yang dia lihat. Dia menatapku tajam dalam diam, entah berusaha mencari letak kejujuran dalam mataku atau apa.
"Nggak selamanya maaf bisa menghilangkan kecewa Sya. Aku bener-bener kecewa sama kamu, aku nggak nyangka kamu akan ngelakuin hal kayak gitu," katanya pelan.
Aku rasanya ingin hilang saja saat ini. Tatapan sendu Radit di depanku membuatku tak bisa berhenti terisak.
Andaikan dia tahu mengapa aku melakukan itu, semua ini karena dia yang tak bisa pergi dari pikiranku sepanjang hari di rumah sakit!
Aku tahu kamu marah karena akhir-akhir ini aku terlalu sibuk, sampai-sampai nolak buat nonton atau makan di luar bareng kamu."
"Aku tahu kamu sering nangis akhir-akhir ini karena aku. Oke, aku emang salah udah bener-bener nggak ada waktu buatmu, tapi malem ini aku mau jemput kamu Sya."
"Aku jemput kamu ke rumah sakit, dan kita bisa makan bareng. Tapi apa? Apa balesannya? Justru sesuatu yang bener-bener nggak pernah ada dalam pikiranku."
Radit menarik nafasnya sambil menggeleng.
Aku tetap diam tak bersuara, entah pembelaan macam apa yang harus kulakukan.
Matilah aku sekarang.

Radit memang tipikal orang yang mudah emosi, tapi baru kali ini aku melihatnya benar-benar tak terkendali. Aku sungguh takut, bahkan hanya menatap wajahnya.
Satu jam kemudian aku dan Radit tiba di halaman rumah.
Radit buru-buru turun dan menutup mobil dengan setengah membanting. Dia kemudian setengah berlari masuk ke dalam rumah.
Oke baiklah Sya, tenang, berfikir yang benar.
Aku mengikuti Radit dengan setengah berlari hingga akhirnya tiba di depan pintu kamar kami.
"Radit, please, maafin aku. Aku bener-bener minta maaf. Aku juga nggak sadar sama apa yang aku lakuin."
"Hari ini aku bener-bener kacau di rumah sakit, dan yang pertama notice itu Rival. Dia tanya ke aku, terus aku cerita, dan dia kasih aku nasihat."
"Kalo kamu tanya kenapa harus dia, karna emang...emang aku cocok cerita sama dia. Aku nggak bisa bohong tentang itu."
Radit menatapku tajam.
"Oke, bagus, kalian emang cocok! Kenapa nggak sekalian kamu sama dia aja?!" bentaknya sambil menaikkan tangannya.
Tarik nafas, hembuskan. Tenang Sya, sabar. Kamu memang salah.
"Radit, please, jangan ngomong kayak gitu. Tolong maafin aku!" kataku setengah berteriak sambil mengusap wajah.
Mengapa sih hariku yang semelelahkan itu harus ditutup dengan yang seperti ini?
"Aku mungkin bisa maafin kamu, tapi aku nggak akan pernah bisa lupa sama apa yang kamu lakuin Sya. Terlalu banyak hal-hal yang nggak aku tahu dari kamu," balas Radit sambil tetap menatapku tajam.

Nada suara Radit memang tak sekencang tadi, tapi kalimatnya kali ini membuat hati dan otakku mencapai puncak didihnya.
Dia juga pernah melakukan hal semacam ini padaku! Dia bahkan mencium perempuan itu di depan mataku! Ciuman merupakan hal yang lebih parah bukan?
"Aku juga gak pernah lupa sama apa yang kamu lakuin Dit! Apa yang kamu lakuin pagi itu di rumah sakit juga selalu berbekas di pikiranku," bentakku sambil menghela nafas.
Air mataku yang menetes dengan cepat kuusap.
"Oh bagus! Jadi sekarang kamu mau bales aku? Di posisimu yang mutlak salah, kamu masih mau cari pembelaan Sya? Hah?" Radit bersuara tak kalah keras dengan aku.
Matanya tajam menatapku, walau aku dapat melihat di sana dia berkaca-kaca.
"Aku nggak sedang cari pembelaan! Aku sedang berusaha minta maaf ke kamu, aku..." belum selesai kalimatku terucap, Radit meraih bibir milikku dengan menarik daguku.
Dia memasukkan lidahnya, memainkannya dengan cara yang membuatku lemas seketika. Tanganku melingkar pada leher Radit, sedangkan dia menghisap bibirku dengan rakus.
Tak hanya itu, dia juga meremas pantatku dan menggigit bibirku sampai aku terpaksa menarik rambutnya.
Dapat kupastikan seribu persen, dia sedang meluapkan semuanya saat ini. Tak hanya emosi yang ditahannya sejak tadi, dia juga merasakan apa yang kurasa, rindu.
Tak hanya beberapa kali, berkali-kali Radit melakukannya tanpa jeda, membuat aku yang awalnya dapat berdiri sendiri, menjadi lemas dan memaksa tubuhku bertopang sepenuhnya pada Radit.
"Please, stop Dit, aku nggak kuat," kataku berbisik sambil mengelus kepalanya.
"I will eat you! Dan aku akan bikin kamu nyesel udah ngelakuin itu di belakangku Sya," katanya sambil menarik tubuhku masuk ke kamar.
"Maafin aku Dit, jangan malem ini, aku bener-bener lemes banget. Sejak pagi aku belum makan, aku..." entah keberapa kalinya, Radit menghentikan ucapanku dengan cara yang sama.
Radit memang pandai membuatku menuruti semua keinginannya, sudah kubilang sejak dulukan?
"Jangan kebanyakan minta maaf. Just do it," katanya berbisik di telingaku.
"Dasar gila," balasku sambil memejamkan mata dan menggeleng.
"Aku emang udah nggak waras sejak nikah sama kamu. I'm sick of you," bisik Radit lagi dengan wajah yang tak bisa kubayangkan.

Mengapa hal yang biasanya selalu menyenangkan menjadi semenakutkan ini?
Radit mulai menarik tubuhku dan menghempaskannya ke atas kasur. Dia menghujaniku dengan ciuman-ciuman menuntut di sepanjang bibir, mata, hidung, dan leherku.

Aku memaksakan mataku untuk terpejam saat Radit menggigit leherku dan menghisapnya dengan keras
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Panduan Konten kami.
Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain


Aku memaksakan mataku untuk terpejam saat Radit menggigit leherku dan menghisapnya dengan keras.
"Dit, please, aku mohon, jangan kayak gini kalo kamu mau bales aku," air mataku mengalir walau tak deras.
Entah Radit tak mendengarnya, atau pura-pura tak mendengar, atau mungkin dia sudah larut dalam emosinya, dia tetap memainkan bibir dan leherku.
Tubuhku memang tak bisa berbohong.
Aku juga amat merindukan dia, amat sangat.
Tubuhku terasa hambar belakangan ini karena tak disentuh oleh Radit, dan ciuman-ciuman menyeramkan itu bagaikan sengatan listrik yang turut membangkitkan gairahku.
Aku meraih kepala Radit hingga akhirnya dia tepat di depan wajahku.
Kutatap wajahnya lamat-lamat, berusaha mencari Radit yang sesungguhnya. Dia hanya terdiam menatapku, hingga akhirnya dia tertawa sinis.
"Apa? Apa yang kamu cari Sya? Rival? Aku bukan Rival!" bentaknya sambil merobek bajuku dengan paksa.
Aku sudah sempurna telanjang sekarang.
Radit mulai meremas payudaraku, tak seperti biasanya, kali ini dia menggigit putingku dan menghisapnya dengan sangat keras.
Aku mengaduh kesakitan, kemudian menarik rambutnya. Tapi dia mengulangi lagi hal yang sama, sampai akhirnya aku justru kecanduan dibuatnya.
Setelah puas pada bagian atas, Radit beralih turun. Dia meremas pantatku dan mengusap-usap kemaluanku sambil sesekali memasukkan jarinya. Aku mencengkram bahu Radit.
Dia selalu melakukannya dengan lembut, tapi hari ini dia berbeda. Aku berkali-kali dibuat dia harus meringis dan meremas entah rambut atau bahunya.
Radit kemudian meremas pahaku, menjilatnya sambil sesekali menggigit dan menghisapnya.
"Kamu bilang capek, tapi tubuhmu nggak bisa bohong. You need me, Sya," katanya pelan sambil mengusap perutku.
Dia menaikkan tubuhnya ke atasku, kemudian kepalanya tepat berada di atas kepalaku.
"Be fast, Dit. Kamu nunggu apa? Aku udah nggak tahan," bisikku pelan sambil melingkarkan lenganku pada leher Radit.
Dia memajukan wajahnya hingga hidungnya tepat menyentuh hidungku. Kurasakan bagian bawah Radit tepat menempel pada milikku, dia memang sudah sempurna menegang sejak tadi!
Apa yang masih dia tunggu sih?
"I'm waiting for you. Aku nunggu kamu bener-bener pilih aku," balasnya setengah berbisik.
Aku meraih kejantanan Radit dengan tangan kiriku dan meremasnya dengan kasar.
"Aku pilih kamu, bahkan sebelum kamu pilih aku! Don't you know?" kataku masih tetap meremas milik Radit.
Mata Radit berkaca-kaca menatapku, kemudian dia tersenyum tipis.
"Entah kamu bohong atau enggak, aku cuma mau bilang...." Aku menarik Radit, hingga akhirnya mulutnya menempel pada mulutku.
Aku melumat bibirnya sambil memainkan lidahku, entah pada hisapan yang keberapa, aku merasakan air mata Radit menetes.
"I miss you so bad," katanya berbisik ketika aku menggeser kepalaku. Radit menelungkupkan kepalanya pada leher bagian kiriku.

Dia menangis tersedu sambil menahan tubuhnya agar tak menindihku
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Panduan Konten kami.
Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Dia menangis tersedu sambil menahan tubuhnya agar tak menindihku.
"Maafin aku ya," bisikku sambil mengusap punggungnya.
"Jangan pernah tinggalin aku Sya," katanya pelan. Aku mengencangkan tanganku memeluk tubuh Radit.
"Nggak akan," ucapku pelan.
Radit kemudian menarik tubuhnya dan menatapku sekilas.
"Kamu habis nangis gitu, tetep masih tegang ya Dit? Kerasa banget di bawah!" ucapku sambil menggigit bibir.
"Iyalah, I will eat you! Triple kill!" desisnya sambil kembali menciumi payudaraku.
Kalian sudah pasti tahu apa yang terjadi setelah itu.
Entah aku yang mengerang karena Radit berhasil membuat kedua pahaku bergetar, atau Radit yang melenguh karena berkali-kali sudah dia melakukannya.
Pergulatan ternikmat itu berakhir dengan ucapanku dan decakan Radit.
Radit, please, aku nggak kuat lagi," ucapku pelan ketika Radit menarik miliknya keluar setelah berkali-kali dia masukkan.
"Segitu aja Sya?" tanyanya dengan nada menghina.
"Segitu gimana. Berapa kali udah Dit, ratusan!" balasku sambil mengatur nafasku yang masih memburu.
"Okedeh, kita lanjutin sejam lagi ya. Kamu memang selalu memabukkan Sya," bisiknya sambil memposisikan diri tidur di belakangku.
Radit kemudian memelukku dan mengusap perutku, sesuatu yang selalu dia lakukan tiap kali kami selesai bergulat.
"Gila apa ya sejam lagi, bisa mikir nggak sih Dit? Bisa mati lemes aku kalo kamu terus-terusan, mana kamu kenceng banget lagi! Hhh," kataku bersamaan dengan berhentinya usapan tangan Radit dan deru nafas yang teratur pada bagian belakang leherku.
Aku tak lagi meningat siapa yang terakhir tertidur ketika kami melakukan semacam ini, tapi malam ini aku bersyukur karena dia tertidur lebih dahulu. Sebab, aku bisa menikmati wajah Radit sambil mengelusnya pelan.
Seperti yang kulakukan saat ini.
Dia memang selalu tampan dalam situasi apapun, tapi satu hal yang kusadari hari ini, Radit yang terlihat selalu kuat, bisa menangis tersedu di depanku. Dan itu benar-benar hal yang membuat hatiku terasa sakit.
Aku sungguh tak ingin melihat dia menangis lagi.
Menit sesudah itu, aku mengecup bibir Radit dan ikut terlelap. Semoga ketika terbangun, aku dan dia sudah kembali seperti sebelumnya.

Radit's POV
Aku terbangun ketika tangan Rasya melingkar pada perutku. Mataku terbuka dan pemandangan pertama yang kulihat adalah tubuh telanjang Rasya. Aku berusaha mengingat apa yang terjadi, tapi otakku gagal bekerja dengan baik.
Tubuh indah Rasya di depanku benar-benar memenuhi ruang di dalam kepalaku. Bagaimana tidak, kami berdua sama-sama tak mengenakan apapun, selimut sekalipun.
Aku mendekatkan kepalaku pada Rasya, kuusap peluh yang memenuh dahinya, kemudian mengecupnya pelan.
Menit sesudah itu, aku hendak beranjak untuk mengambil remote AC, namun gerakanku sepertinya disadari oleh Rasya. Dia menggeliat dan merekatkan tangannya lebih kencang.
Aku menghembuskan nafas ketika Rasya justru semakin terlelap dan bukannya terbangun.
"Sya, aku nyalain AC dulu, bentar. Aku nggak bisa gerak kalo kamu tahan Sayang," bisikku pelan sambil mengusap peluh yang kembali memenuhi dahi Rasya.
Rasya diam tak merespon.
Aku kemudian memindahkan tangannya dan beranjak turun dari kasur.
Setelah menyalakan AC, aku kembali merebahkan tubuhku di samping Rasya. Tanpa sehelaipun kain menutupi, ditambah lekukan tubuh indah Rasya, serta payudaranya yang sempurna mencuri perhatianku, membuat aku susah sekali kembali terlelap.
Aku merasakan sesuatu bergejolak.
Cukup Dit, cukup untuk malam ini, jangan mau tambah lagi, desisku dalam hati.
Tapi bagaimana bisa aku bertahan? Jika Rasya di depanku, dalam keadaan tertidur pulas, mampu meningkatkan gairahku.
Aku memulainya dengan mengelus perut Rasya, entah ritual ini dimulai sejak kapan, yang jelas, setiap kali melakukannya, aku sungguh merasa senang.
Beralih dari perut, aku mulai mengusap payudara Rasya dan meremasnya pelan. Argh! Nikmatnya membuat aku benar-benar tak terkendali.
"Belum cukup ratusan kalinya tadi?" aku tau itu suara Rasya, tapi suara itu muncul benar-benar di saat yang tidak tepat.
Aku tertangkap basah, dan sekujur tubuhku benar-benar menegang karena terkejut.
"Apa sih Sya, bikin kaget aja," balasku sambil menarik cepat tanganku.
"Oh kirain mau lagi, tadinya sih mau aku iyain. Cuma kalo enggak yaudah aku tidur lagi," ucap Rasya sambil membalikkan posisi tubuhnya.
Matilah kau Radit!
Pemandangan di depan mataku kali ini justru lebih memabukkan. Pantat Rasya dan lekukan tubuhnya yang luarbiasa itu memaksaku menarik lengan Rasya untuk membalikkan tubuhnya.
"Depan aja, jangan belakang. Nggak kuat kalo belakang. Kalo aku udah nggak kuat bisa ratusan kali lagi nanti," kataku dan dibalas dengan kekehan Rasya.
"Apa sih mulutnya! Ya suka-suka aku dong mau tidur hadap mana," balas Rasya sambil kembali membelakangiku.
"Ah dasar tukang penggoda. Kamu ya yang mulai ya," ucapku sambil meremas pantat Rasya dan memeluknya dari belakang.
Rasya tertawa.
"Aku mau lagi, ribuan kali juga mau Dit," bisik Rasya pelan sambil memainkan tanganku yang melingkar di perutnya.
"Hmmm ada yang bilang capek padahal tadi. Tapi ya kamu mancing ikan paus macam aku, ya aku bakal makan kamulah!" kataku sambil menciumi leher Rasya dan menghisapnya pelan.
Rasya memelintir putingku sambil menggigitnya, dia juga menghisap leherku hingga meninggalkan bercak merah di sana.
Kulihat Rasya sudah basah ketika aku menciumi miliknya, aku beranjak ke atas, menatap Rasya dan tersenyum tipis.
"Are you sure? Kamu nggak capek?" tanyaku pelan.
Rasya menggeleng.
"Udah deh, buruan! Udah nggak tahan Diit! Argh," katanya pelan sambil mengusap kejantananku yang sudah menegang sejak beberapa menit lalu.
"My good girl, my sexy girl," kataku pelan sambil memasukkan milikku ke dalam vagina Rasya.
"Ouh, Dit, faster please, Sayang," kata Rasya sambil memejamkan matanya merasakan kenikmatan yang juga kurasakan.
"Iya, aku kasih bonus ya," bisikku pelan sambil menjilat dan menghisap milik Rasya, dia kemudian menjepit kepalaku pada kedua pahanya.
Kedua paha Rasya bergetar sesudahnya, kemudian aku beralih ke atas dan kembali menciumi payudaranya.
Ah, nikmat mana lagi yang bisa kau dustakan Dit?
"Bonusnya aku suka banget!" kata Rasya dengan wajah berbinar sambil mengelus dadaku.
Aku mengecup bibirnya kemudian membaringkan tubuhku di samping Rasya.
Seperti biasanya, aku kembali mengusap perut Rasya sebelum akhirnya kami berdua terlelap.
"I love you."
"I love you more."
***

"Lo liat Rasya berduaan sama mantannya Dit?" tanya Danu dengan mata terbelalak.
Danu, asisten sekaligus sahabat karibku sejak SMA sedang duduk di depanku saat ini, kami sedang berada di salah satu café di dekat kantor pada jam istirahat.
Danu ini merupakan orang pertama yang akan mengetahui seluruh persoalan hidupku, baik yang bahagia maupun tidak.
"Iya Nu, gue lihat dengan mata kepala gue sendiri waktu mau kasih surprise buat dia," jawabku sambil menyeruput kopi.
"Surprise yang lo siapin di SKYE itu? Yang di sky lounge mahal itukan? Wah parah parah! Terus akhirnya gimana?" ucap Danu dengan ekspresi too-excited nya.
Yaudah semua batal! Gue pulang, mana lo tahu nggak, mobil gue mati lampunya di jalan, akhirnya gue terpaksa pulang bareng Rasya," jawabku.
"Yaelah! Terus sampe sekarang gimana lo di rumah?"
"Hmmm, malemnya sih udah ena-ena lagi. Tadi pagi gue berangkat dia masih tidur dengan pulasnya. Lo taukan apa yang terjadi?" aku memicingkan mata.
"Pasti lo ngebom dia ratusan kalikan Dit? Mampos!" Danu tertawa ketika aku mengangguk sambil menunjuknya.
"Kecapekan bercampur lemes kalik ya. Duh gue jadi merasa bersalah," kataku pelan dan dibalas dengan tawa Danu yang mengeras.
"Yaudahlah, dia pasti juga seneng lo ena-enain gitu Dit! Hahaha. Eh tapi, btw, mantannya Rasya sama lo gantengan mana?"
Aku menaikkan jari tengahku ke depan Danu, sedangkan dia malah semakin tertawa.
"Lo mungkin kurang perhatian sama Rasya sob, makanya dia bisa sampe ngelakuin hal kayak gitu. Lo harus manja-manjain dia lebih lagi," kata Danu sambil menyeruput kopinya.
"Ya iya sih, oke, gue coba saran lo deh. Thanks Nu. Mungkin emang iya gue kurang manjain dia sebagai istri gue, tapi perasaan ya..." teleponku berdering, dan nama Rasya muncul di sana.
Aku buru-buru mengangkatnya.
"Kamu kok nggak bangunin aku, sih?" suara Rasya membuat aku buru-buru menjauhkan ponselku.
"Maaf Sayang, habisnya kamu pules banget tidurnya. Mana tega aku banguninkan?" balasku lembut.
"Ah, tapi aku jadi telat. Inikan perbuatanmu. Pulang nanti bawa martabak manis ya, gamau tahu," kata Rasya berbarengan dengan suara sambungan diakhiri.
Aku menggigit bibir merasakan perubahan dari gaya bicara Rasya. Kenapa ya dia? Kenapa dia jadi begitu?
***

"Ibu dimana Bi? Udah pulang? Tadi pagi ke kantor nggak?" tanyaku ketika melihat Bi Inah sedang mencuci piring di dapur.
"Sudah tidur Pak dari tadi habis Isya. Ke kantor tadi pak, tapi sore udah pulang, mukanya pucet begitu pak, saya tanya kenapa, jawabnya nggak papa," jawab Bi Inah pelan.
"Oh gitu ya Bi, ya sudah saya ke kamar dulu. Makasih ya Bi," ucapku.
"Iya pak," balas Bi Inah sambil mengangguk.
Aku bergegas berjalan menuju kamar dan mendapati Rasya sudah terlelap dengan nafas yang naik turun teratur.
Aku mengecup dahinya pelan.
"Sayang, kamu jadi mau martabak manis nggak? Aku udah beliin tuh," bisikku sambil mengusap pipi Rasya.
"Hmmm, mau disuapin tapi Dit," jawab Rasya membuatku terkekeh.
Apa-apan dia ini? Kenapa Rasya jadi seperti ini?
"Oke, aku mandi dulu ya, habis itu aku suapin. Jangan tidur dulu ya Sya," kataku lagi dan dibalas dengan anggukan Rasya.
Beberapa saat kemudian aku sudah selesai mandi dan membawa sekotak martabak manis dari dapur menuju ke kamar.
"Mandi kamu di Bandung ya? Kok lama banget sih? Kan aku udah kangen," Rasya mengulum senyum pada akhir kalimatnya.
Senyum mematikan!
"Iya iya, yang penting aku udah di sini sekarang. Masih kangen nggak?" balasku sambil menjawil dagu Rasya.
"Masih! Mau dicium yang banyak," kata Rasya setengah berbisik.
Aku tertawa kemudian menghujani Rasya dengan ciuman pada seluruh wajahnya, sedangkan dia terkekeh sambil meremas rambutku.
Ya tapi nggak sebanyak ini ah, Radit!" ucapnya sambil mendorong kepalaku menjauh.
"Ya habisnya pipimu," aku mengecup pipi Rasya.
"Matamu," aku mengecup mata Rasya.
"Hidungmu," aku mengecup hidungnya.
"Sama dahimu tuh bikin kecanduan tahu nggak Sya," lanjutku.
"Apalagi yang ini sih," kataku sambil menempelkan bibirku pada bibir Rasya dan melumatnya secepat mungkin.

"Apalagi yang ini sih," kataku sambil menempelkan bibirku pada bibir Rasya dan melumatnya secepat mungkin
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Panduan Konten kami.
Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
 
Rasya tersenyum menahan malu, mukanya merah merona, sama seperti biasa ketika aku mencuri bibirnya.
"Pinter banget cari kesempatan dalam kesempitan ya!" katanya sambil meninju perutku.
"Iya, apalagi bikin mukamu merah merona gitu, aku jagonya. Kamu kok masih malu aja sih Sya tiap kali kecolongan bibirnya? Padahalkan bibirmu itu punyaku, aku bisa..." Rasya menghentikan ucapanku dengan bibirnya.
Dia memainkan lidahnya sambil mengusap dadaku.
"Biasa aja dong mukanya, nggak usah kaget gitu aku cium!" bentak Rasya membuat aku yang tertegun kembali sadar dan tertawa.
"Siapa juga yang kaget? Biasa aja kok! Aku ambil minum dulu ya ke dapur," aku hendak beranjak, namun Rasya menahanku.
"Kamu baru sampe rumah kok udah pergi lagi sih?" tanyanya sambil mencengkram kuat lenganku.
"Ya ampun Sya, aku cuma ambil air putih ke dapur, nggak pergi ke mana-mana," jawabku sambil tersenyum.
"Oke aku izinin, tapi lima detik aja! Kalo lima detik nggak balik, aku bakal panggil-panggil kamu," ucap Rasya menatapku.
Bah! Apa lagi ini? Maaf, ini Rasya bukan ya?
Aku menatapnya diam, kemudian menempelkan tanganku pada dahinya.
"Rasya mana ya? Kayaknya ini bukan Rasya deh," aku terkekeh sambil mengusap puncak kepalanya, dibalas dia dengan mengerucutkan bibir.
"Iya lima detik ya, aku balik sini habis lima detik!" kataku akhirnya ketika Rasya justru tak membalas upayaku untuk bergurau. Hft.
"Satu...." Rasya mulai menghitung bahkan ketika tangannya masih memegang lenganku.
Oke, entah apa yang terjadi pada dia, sebut saja ini memang seharusnya sikap seorang istri pada suaminya. Manja? Apakah aku bisa menyebut Rasya seperti itu sekarang?
Apapun itu, aku sungguh bersyukur, karena sekarang, Rasya benar-benar ingin aku ada di dekatnya. Aku bahkan tak pernah berfikir dia akan bersikap semenyenangkan ini. Haha!
"Radiiiiit, Radiiit...kok lama sih? Kalo ini udah sejam lebih!" teriak Rasya memaksaku setengah berlari menuju kamar.
"Sya, tolong ya, satu menit aja belum ada! Kamu coba liat jamnya!" aku menunjuk jam di dinding.
"Aku nggak mau liat jamnya, maunya kamu," katanya pelan.
"Yaampun! Apa aku nggak salah denger nih? Kamu nggombalin aku Sya?" tanyaku sambil mendekat dan ikut duduk di atas kasur.
"Aku bilang kenyataan, bukan gombal kayak kamu biasanya," jawab Rasya sambil memainkan rambutku.
"YaAllah, semoga selamanya istriku manja terus kayak gini. Mau deket-deket sama aku terus, maunya sama aku aja, nggak sama yang lain, aamiin," kataku dan dibalas dengan Rasya yang tertawa.
"Emang kayak gitu manja ya Dit?"
"Enggak kok, tapi kalo kamu kayak gitu terus, aku makin sayang."
"Mau peluk dong Dit."
"Kalo lebih dari peluk mau nggak?"
"Enggak ah, maunya dipeluk sambil diusap-usap perutku sampe besok pagi."
"Iya, sini aku peluk," kataku pelan sambil memeluk Rasya dari belakang.
Aku berkali-kali mencium lehernya sambil mengusap perut Rasya.

"Nggak usah ke atas-atas, kamu kira aku udah tidur hah?" tanya Rasya ketika aku mulai menaikkan tanganku menuju payudaranya
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Panduan Konten kami.
Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


"Nggak usah ke atas-atas, kamu kira aku udah tidur hah?" tanya Rasya ketika aku mulai menaikkan tanganku menuju payudaranya.
Ya mana aku bisa tahan! Jarak perut Rasya ke payudaranya kan kurang dari sejengkal!
"Bonusin dikit kenapa Sya," jawabku berbisik.
"Aku usap-usap aja deh, nggak sampe kayak biasanya deh," lanjutku sambil menaikkan tanganku dan mengusap payudara Rasya.
"Selamat tidur Sayang, mimpiin aku ya," kataku pelan, namun Rasya tak menjawabnya.
Dia sudah sempurna terlelap, dia selalu cepat sekali tertidur ketika aku memeluknya. Ah, pelukankukan memang pelukan maut!
Aku mengecup pipi Rasya, kemudian ikut terlelap di sampingnya.
Semoga dia selamanya akan bermanja-manja begini padaku. Amin.

You may like these posts